Pandemi ini hampir menguras stok kebahagiaan yang aku miliki. Aku sampai membatasi interaksi media sosial, menahan jariku untuk tidak bergegas mengklik berita-berita yang berseliweran di segala platform sosial mediaku. Aku yang sempat khawatir berkepanjangan, perlahan mulai pulih dan bersemangat lagi. Salah satunya karena drama adik bungsuku insyaaAllah telah berakhir.
Di tengah pandemi ini, ia yang berada paling jauh dari rumah jelas menyulut khawatir. Jauh-jauh sebelum Sulawesi Utara termasuk daerah pandemi, Jogjakarta telah lebih dulu mengumumkan status wilayahnya. Seminggu setelahnya, ia mengabarkan penuh kekecewaan bahwa ia harus pulang karena situasi di sana tak memungkinkan ia untuk bertahan. Jogjakarta resmi mengeluarkan edaran untuk warga berKTP non-DIY agar mempercepat mudik sebelum 5 April atau menundanya hingga 1 Juli. Waktu yang lumayan panjang. Membayangkan ia berada di tengah kebingungan padahal Ramadhan insyaaAllah sebentar lagi menyapa maka kami memutuskan untuk memulangkannya ke Sulawesi Utara.
Ia diharuskan mengalah. Jadwal ujian sidang thesis April ini terpaksa harus ditunda dan terancam dilaksanakan secara online. Ia juga kecewa. Alih-alih membawa ijazah Master, ia malah dipulangkan karena situasi yang menyedihkan ini. Kami semua membesarkan hatinya. Meyakinkan ia bahwa, segalanya insyaaAllah akan baik-baik saja selama ia sehat dan kuat. Pulang saat ini adalah pilihan terbaik yang harus kita ambil.
Kita juga mencari tahu, SOP kepulangan famili dari daerah terpapar pandemi. Hasil yang kami temukan, per satu April semua yang datang akan dikarantina oleh Pemprov. Kami sungguh tak apa karena ingin taat prosedur. Yang terpenting sekarang, memulangkan ia di tengah kita dengan selamat dan sehat.
Dua hari sebelum kepulangannya ia jatuh sakit. Pergi ke klinik karena radang tenggorokan menurut diagnosa dokter. Ia demam dan batuk. Demam dan batuk di situasi ini tentu amat sangat tidak menguntungkan bukan? Bisa-bisa ia tidak diizinkan terbang dengan keadaan demikian. Makanya kita memotivasinya agar sembuh. Besoknya berkabar sudah agak baikan. Kita tetap menyuruh untuk beristirahat, berjemur dan minum rimpang yang menyehatkan.
Ia berangkat dari Yogjakarta International Airport dengan tubuh fit dan suhu badan 33,5°. Normal. Tantangan selanjutnya cukup mengusik pikiran. Pesawat dialihkan dari harusnya Batik menjadi Lion. Alasannya karena rute penerbangan yang salah. Sebagai kompensasi dari pihak Lion, adikku dan teman-temannya tidak perlu membayar bagasi. Pesawat yang mereka tumpangi, transit ke Makassar sebelum ke tujuan akhir, Manado. Di Makassar setelah cukup lama menanti, masuk ke ruang tunggu bermodalkan boarding pass. Nah disitulah mesin membaca adik bungsuku itu demam. Yang lain kuning sementara alat mendeteksi ia merah sendirian. Ia ditahan Avsec. Diperiksa. Suhunya tinggi. 39,5°. Tidak normal. Disitulah cerita sedih menyayat hati dimulai hanya satu jam sebelum keberangkatan. Melalui sambungan telepon ia cerita bahwa ia ditempatkan di ruang isolasi karena demam. Diberi vitamin sama dokter. Difoto untuk dokumentasi. Dituliskan surat oleh dokter jaga. Tapi sebelum itu, ia bercerita bahwa salah seorang petugas Avsec wanita menyimpulkan dengan jahatnya bahwa ia telah terjangkit Corona. Adikku jelas tak terima. Alasan apa yang bilang begitu, padahal diperiksapun belum. Adikku bilang sembari menantang untuk tidak menyebarkan hoax apalagi saat itu banyak sekali calon penumpang yang melihat ke arahnya. Ditekan secara psikis sendirian, membuat ia semakin nervous dan demam. Padahal adikku sudah menunjukkan obat yang diberikan dokter ketika ia periksa di Yogja tempo hari. Ia mengabari sembari pasrah. Jika demamnya tidak turun hingga jadwal ia naik pesawat maka, ia harus diisolasi di Makassar selama dua hari dengan serangkaian pemeriksaan sebelum akhirnya pulang. Tiket akan ditanggung pihak Bandara jadi ia tidak perlu khawatir.
Kami shocked dan terpukul. Tidak tega membayangkan ia berjuang sendirian. Di kota asing, di tengah situasi ini, di antara prasangka dan dugaan, di antara orang-orang yang tidak mengenalnya. Sendirian? Ohh hati kami nyeri sekali rasanya.
(Bersambung di part 3)
Comments
Post a Comment