Skip to main content

Mesin Kecerdasan : Feeling

Tahun 2004 silam ketika bencana Tsunami menimpa Aceh, aku ingat lebih dari seminggu menangis sesenggukan sendirian hingga bantalku basah. Aku masih duduk di bangku SMP kala itu, ketika aku bahkan sesedih itu padahal tidak ada korban yang kukenal. Peristiwa naas yang menimpa JT610 di 2018 pun kutangisi demikian hebat padahal tak ada satupun korban yang kukenal. Jayapura berkecamuk pun membuatku terjaga dan lagi-lagi sesenggukan. Belum lagi genosida di Palestina, Rohingya, Uyghur, Suriah pun pernah mengusik tidur nyenyak hingga berminggu-minggu. Hingga hari ini, setiap mendengar berita itu, aku buru-buru skip. Pernah sekali kukuatkan diri mencoba mendengar, setelahnya aku menangis tersedu juga. Bahkan sampai hari ini, aku tidak tahan melihat iklan fundraiser seperti kitabisa dan sejenisnya. Jantungku berdegup tak karuan dan kesedihan mengepungku. Makanya, aku tidak sanggup mendengar, menonton, membaca berita apapun tentang itu ketika bergejolak. Bukannya aku ingin mematikan rasaku. Tapi ada sesuatu yang kadang dianggap orang remeh sementara bagiku tidak. Soal perasaan yang sulit aku jelaskan.

Kalau terpapar kisah yang sedih-sedih di jalan seperti bertemu sepasang pengemis dengan dua orang anaknya atau persis kemarin melihat seorang pemulung sembari mendorong anaknya yang depresi di gerobak membuatku memikirkannya semalaman. 

Padahal aku tidak baik-baik amat dan bukan yang paling lembut hatinya. Aku tipe yang cerewet dan banyak bicaranya, cenderung galak yang malah kadang ngeselin dan menyebalkan. Jauh sekali dari image perasa. Walau kata temanku, mesin kecerdasan-ku itu adalah feeling

Mungkin aku memang cengeng dan baperan. Mudah tersentuh pada hal yang dianggap orang sesuatu yang remeh, padahal aku yang kurang bergerak, kurang berbuat, kurang memberi. Katanya ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan tapi malah disibukkan mengurus masalah pribadi. Tapi, sejujurnya aku selalu ingin berbuat walau tak seberapa, walau tidak penting menurut yang lain, walau sedikit dampaknya, walau tidak kedengaran dan tidak kelihatan. 


Comments

Popular posts from this blog

Mini Project : Dari Pesisir Untuk Peradaban

Ada satu family project keluarga #PeisirPeradaban yang diinisiasi bersama suami dan hampir kami lakukan berdua setiap pekannya. Kami yang lahir dan besar di dua poros maritim berbeda di sudut Nusantara, ingin sekali mempersembahkan sesuatu untuk dunia kemaritiman. Meski sederhana dan receh.  Seiring berjalannya waktu, kami ingin gerakan sederhana ini turut diikuti banyak keluarga hingga menggerakkan sebanyak mungkin manusia Indonesia. Sebab kami tahu, untuk misi menyelesaikan ini semua kami membutuhkan banyak tangan yang peduli dan siap tergerakkan. Project ini adalah sebuah aksi dalam menjaga laut dimulai dari kota kami, kota Bitung, pesisir maritim Sulawesi Utara. Menurut mantan Menteri Kementerian dan Kelautan, Ibu Susi Pujiastuti ada 3,2 juta ton sampah plastik dalam setahun di laut Indonesia. Kalau tidak diselesaikan, maka 2030 akan lebih banyak plastik daripada ikan.  Judul : Dari Pesisir Untuk Peradaban Deskripsi Project : Sebagai wila...

Sesuatu Tentang February First

Alhamdulillah, sekian tahun masih berjumpa dengan February First. Hari dimana, syukur selalu membuncah dan tanya mengangkasa ke langit. Mencoba mencari makna di balik kerahasiaan ketetapanNya. Aku bersyukur atas kesempatan islah yang Allah berikan, sekaligus mencari jawaban tentang, 'Apakah ada keberkahan atas berkurangnya usia?', 'Apakah ada kebaikan atasnya?', 'Apakah aku menua dalam kemuliaan?', 'Apakah aku layak untuk segala kesempatan?' February First adalah refleksiku, tempatku bercermin menengok lagi ke dalam diri. Aku tak merayakannya, sebab tak ingin aku menyerupai suatu kaum, golongan yang berpesta pora atas berkurangnya usia. Duh, seandainya Allah memberi tahu batas usia kita, apakah masih bisa kita tertawa-tawa merayakannya? Aku jamin tidak, karena akan disibukkan kita dengan beramal tanpa henti. Maka itulah, dijadikan olehNya ghoib, agar yang memberi usaha terbaik adalah yang terbaik. Makin bertambah hari, makin berkurang usia. Semoga tidak ...

Hari Guru dalam Kisahku

Facebook mengingatkan momen ini,  five years ago  (terima kasih Mr. Mark untuk fitur nostalgia yang satu ini). Aku ingat, menghabiskan  in total  delapan tahun waktu mengajar. Awalnya, mengajar anak-anak Madrasah Ibtidaiyah sejak aku semester tiga hingga lulus kuliah. Sampai aku menjadi kesayangan dosen teaching karenanya. Di semester lima, ketika teman-teman sekelas grogi bukan main saat praktik PPL 1 yang mengharuskan kita mengajar di depan kelas, aku malah mengajar dengan rileksnya seolah mengajar murid-murid MI-ku. Lulus kuliah, aku mengajar di dua sekolah berbeda. Di MA, selama dua tahun dan di SMK lima tahun lamanya. Tepat Juni 2018, aku gantung seragam atas permintaan suamiku. Sebelum pandemi, aku masih memberi les untuk anak-anak di rumah,  for free . Orang tua memberi infaq seadanya untuk keperluan membeli buku bacaan anak-anak dalam dua bahasa. Aku happy, karena mengetahui dengan jelas, itu semua adalah passion- ku. Bahkan, yang paling kuingat, wa...