Dulu, aku kadang suka kesal dan cemburu pada hobi suamiku. Hobi main badmintonnya yang seringkali menyita waktu santai berdua di Minggu pagi. Tapi, aku akhirnya insyaf. Usai mendengar ceramah Ustadz Salim A Fillah tentang hobi suami. Menurut ustadz, setiap istri harus berlapang hati menerima hobi suami. Sebab, suami yang bahagia dengan hobinya akan pulang ke rumah membawa semua energi bahagia itu. Aku akhirnya menyadari Ustadz benar. Setiap kali suamiku selesai dengan hobinya, ia akan menjadi yang jauh lebih bahagia. Mood-nya baik dan dia jadi berkali lipat lebih menyenangkan. Hobinya adalah haknya, sesuatu yang harusnya tidak aku cemburui.
Di sisi lain, aku bersyukur. Hobi 'murah' suamiku ini tidak terlalu melonggarkan dompetku. Sepatu, raket, kostum, dan alat penunjang lainnya masih amat terjangkau dibanding hobi suami-suami temanku yang mahal dan gak bisa kuterima dengan nalar. Menurutku, asalkan ia utarakan keinginan, maka apapun itu kita bisa mendiskusikannya. Aku ingin juga ia tahu aku mendukungnya. Aku ingin ia bahagia terlebih dahulu sebelum membahagiakanku. Pernikahan ini tak lantas mengekangnya untuk tidak lagi bisa bersantai dengan hobinya. Ia bisa melakukan keduanya melakukan hobinya dan menjadi suamiku.
Kutulis ini sembari menunggunya pulang dari jadwal baru badminton-nya. Hmm, sudah hampir 4 jam. Tapi tenang. Aku tetap ingin menyambutnya dengan senyuman di depan pintu sejurus suara motornya terdengar sembari bertanya, 'gimana hari ini, mas?'. Jangan jadi istri menyebalkan lah. Cukup menyebalkan kalau lagi ngambek aja heheheh kalo soal hobi yaa jangan.
Bitung, 100320
Comments
Post a Comment