Tahun 2004 silam ketika bencana Tsunami menimpa Aceh, aku ingat lebih dari seminggu menangis sesenggukan sendirian hingga bantalku basah. Aku masih duduk di bangku SMP kala itu, ketika aku bahkan sesedih itu padahal tidak ada korban yang kukenal. Peristiwa naas yang menimpa JT610 di 2018 pun kutangisi demikian hebat padahal tak ada satupun korban yang kukenal. Jayapura berkecamuk pun membuatku terjaga dan lagi-lagi sesenggukan. Belum lagi genosida di Palestina, Rohingya, Uyghur, Suriah pun pernah mengusik tidur nyenyak hingga berminggu-minggu. Hingga hari ini, setiap mendengar berita itu, aku buru-buru skip . Pernah sekali kukuatkan diri mencoba mendengar, setelahnya aku menangis tersedu juga. Bahkan sampai hari ini, aku tidak tahan melihat iklan fundraiser seperti kitabisa dan sejenisnya. Jantungku berdegup tak karuan dan kesedihan mengepungku. Makanya, aku tidak sanggup mendengar, menonton, membaca berita apapun tentang itu ketika bergejolak. Bukannya aku ingin mematikan rasaku. Tap