Berita dari seberang telepon tentang kabar isolasi adik bungsu kami di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar cukup mengagetkan. Dari jauh, kami hanya bisa pasrah dan mendo'akan semoga demamnya mereda dan ia diizinkan terbang ke kota ini, menemui kami setelah dua tahun lamanya tak berjumpa.
Pukul 20.40 ketika pesawat yang ia tumpangi seharusnya take off, telepon genggamnya tidak bisa dihubungi. Berharap sekali, sengaja ia matikan karena pesawat harus lepas landas tanpa sempat mengabari kami. Alhamdulillah, menjelang pukul 22.00, ia mengabari melalui telepon bahwa ia telah tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Sejurus kemudian, kami juga telah tiba di parkiran. Urung keluar memilih menunggunya di dalam mobil hingga ia selesai mengambil bagasi. Cukup lama menanti, lebih dari 40 menit sebelum akhirnya melihat dia keluar dari pintu kedatangan. Haru sekali melihatnya. Serius. Selain rindu, kami sempat diselimuti kekhawatiran membayangkan ia terancam diisolasi di Makassar.
Di perjalanan menuju rumah yang menempuh 45 menit perjalanan. Ia menceritakan segala hal yang ia alami secara mendetail. Ketika berangkat dari Yogja, suhu tubuhnya normal. Mendadak drop ketika tiba di Makassar. Yang membuatnya down, di tempat asing divonis pula sama orang asing tentang gejala yang ia alami padahal dokterpun bukan. Ia sejujurnya panik memikirkan proses isolasi yang mereka maksudkan. Ia juga sempat menanyakan prosedurnya jika harus demikian. Ia berulang kali meyakinkan dokter dan perawat jaga bahwa ia hanya sedang mengalami radang tenggorokan. Bahkan obat dari dokter pun ia kantongi. Tapi karena ia datang dari wilayah transmisi lokal dengan demam dan batuk, wajar jika para tenaga medis di sana mengambil tindakan preventif. Usai meminum pereda demam dan alhamdulillah demamnya turun, ia berlari secepat kilat menuju gate pesawat yang hampir ditutup. Pramugari langsung tahu ia datang dari ruang isolasi makanya ia diberikan tempat duduk sendiri terpisah dari rombongan. Melihat ia berlari secepat itu, para tenaga medis tahu bahwa ia memang sehat hanya sedang drop karena perjalanan panjang. Tapi tetap taat prosedur dengan mengisi kartu kuning. Di Bandara Manado juga demikian. Ia mengisi kartu kuning yang diberikan.
Esoknya, ia kembali demam tinggi. Kami sekeluarga berunding mau membawanya kemana terlebih dahulu. Sejujurnya kami bingung soal alurnya. Juga khawatir jika status ODP dengan gejala justru akan membuat adik kami dirawat di Rumah Sakit rujukan. Menjelang sore, seseorang menelepon. Dia menyebut dirinya salah seorang petugas medis gugus tugas Covid-19 Kota Bitung. Menanyakan track kedatanganya secara detail dan juga menanyakan kondisi adik kami mulai dari demam hingga apakah ia mengalami gangguan pernapasan. Alhamdulillah adik kami tidak mengalami sesak nafas. Makanya kami yakin, ia akan baik-baik saja. Oleh petugas medis, ia dihimbau untuk self quarantine di rumah selama 14 hari. Bila demamnya tak kunjung turun, maka ia wajib menghubungi petugas tersebut. Besok dan besoknya lagi, adik kami menerima telepon berkali-kali. Mulai dari temannya yang juga gugus tugas Covid-19 di kota kami hingga pak lurah yang juga berteman baik dengannya. Status tentang ODP-nya dibahas di tingkatan mereka. Ia mendadak populer karena namanya tercantum di grup siaga covid kecamatan apalagi karena ia mengalami demam. Well, pertama kami akui ini mengagetkan dan mengkhawatirkan tapi ketika dia perlahan membaik, kami bisa tertawa bersama ketika membahas ini.
Alhamdulillah hari ke-empat bersama kami dalam self quarantine, ia sehat sekalii. Setiap jam 10 pagi berjemur. Minum vitamin. Aku menggosokkan oil di dadanya. Mengkonsumsi makanan sehat. Walau belum bisa memeluk dan menciumnya, kami tetap bersabar. Semua ini karena kami sayang. Sehat selalu kesayangan kami semua.
Aku akhirnya perlahan mengusir kekhawatiran. Setelah ini, aku siap bergerak. Di depanku, misi mulia #IbuBantuIbu siap kumulai. 💜
Pergilah resah, pergilah gundah, pergilah gelisah, datanglah bahagia.
Comments
Post a Comment